Refleksi Hari Buruh 2025: Keadilan Kerja dalam Cahaya Islam

Penulis: Dr. A'rasy Fahrullah, S.Sos., M.Si.
Dosen Prodi Ekonomi Islam FEB Unesa
Tanggal 1 Mei setiap tahun diperingati sebagai Hari Buruh Internasional atau May Day. Bukan sekadar perayaan formalitas atau hari libur nasional, momen ini seharusnya menjadi waktu refleksi mendalam atas kondisi para pekerja, kontribusi mereka bagi kemajuan bangsa, dan yang terpenting: bagaimana mereka diperlakukan dalam sistem ekonomi. Dalam perspektif Islam, isu ketenagakerjaan tidak bisa dilepaskan dari prinsip keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Buruh Bukan Sekadar Alat Produksi
Dalam teori manajemen konvensional, pekerja sering kali diposisikan sebagai salah satu faktor produksi, sejajar dengan mesin, modal, dan bahan baku. Ini adalah warisan dari sistem kapitalisme yang lebih mengutamakan efisiensi dan profit ketimbang nilai-nilai insani. Namun, Islam sejak awal telah menempatkan manusia pada posisi terhormat dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal bekerja dan mencari nafkah.
Dalam Alquran, Allah SWT berfirman: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak-anak Adam.” (QS. Al-Isra’: 70). Ini adalah pengakuan langsung dari Sang Pencipta bahwa manusia adalah makhluk mulia, tak boleh direndahkan atau dieksploitasi. Maka dalam sistem ekonomi Islam, pekerja bukan hanya alat, tapi adalah subjek utama pembangunan, pemakmur bumi, dan pemikul amanah dari Allah.
Islam dan Etika Ketenagakerjaan
Rasulullah SAW juga telah memberikan pedoman moral yang sangat jelas tentang hubungan kerja. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah). Ini bukan hanya seruan agar membayar gaji tepat waktu, tetapi juga simbol dari penghargaan atas kerja keras, serta larangan terhadap penundaan dan kezaliman dalam transaksi kerja.
Bayangkan, dalam masa Rasulullah yang jauh dari kompleksitas industri modern, prinsip etika kerja sudah ditegakkan sedemikian tinggi. Maka umat Islam saat ini tidak boleh tertinggal dalam hal moralitas ketenagakerjaan. Memanusiakan pekerja bukan sekadar urusan kebijakan publik, tapi bagian dari ibadah dan tanggung jawab sosial.
Upah Minimum dan Dilema Ekonomi
Dalam konteks kebijakan kontemporer, upah minimum regional (UMR) sering dipandang sebagai bentuk perlindungan negara terhadap pekerja. Namun dalam praktiknya, UMR menyimpan dilema tersendiri. Bagi perusahaan kecil dan menengah, UMR dapat menjadi beban yang berat. Tak jarang, mereka memilih efisiensi ekstrem—PHK massal, relokasi usaha, bahkan menggantikan tenaga kerja manusia dengan mesin. Yang jadi korban? Para pekerja itu sendiri.
Dari perspektif maqashid syariah (tujuan syariat), menjaga jiwa (hifzh al-nafs) dan menjaga harta (hifzh al-maal) adalah dua dari lima tujuan utama syariat. Kebijakan yang tidak seimbang, meski diniatkan untuk kebaikan, bisa merusak dua tujuan ini sekaligus: usaha tidak mampu bertahan, dan pekerja kehilangan nafkah. Maka, Islam mendorong kebijakan yang adil, proporsional, dan tidak merugikan salah satu pihak.
Upah idealnya mengikuti mekanisme pasar—al-ajru bi al-ridha (upah berdasarkan kesepakatan yang rela dan adil). Namun Islam juga tidak membiarkan pasar berjalan liar. Jika terdapat ketimpangan kekuatan antara pekerja dan pengusaha, maka intervensi negara dibenarkan, selama bertujuan menegakkan keadilan dan menghilangkan kezaliman.
Pekerja dalam Sistem Ekonomi Syariah
Ekonomi syariah tidak hanya bicara soal riba, zakat, atau halal-haram transaksi, tetapi juga menyangkut etika relasi sosial. Dalam sistem ini, pekerja dan pengusaha tidak diposisikan sebagai musuh, tetapi sebagai mitra. Konsep 'uqud al-mu'awadhah (akad pertukaran) seperti ijarah (sewa jasa) atau mudharabah (bagi hasil) adalah contoh bagaimana Islam menyediakan instrumen kerja sama yang adil dan saling menguntungkan.
Lebih dari itu, ekonomi syariah menekankan pentingnya maslahah (kemaslahatan umum) dan takaful (saling menanggung). Oleh karena itu, perusahaan dalam sistem syariah idealnya tidak hanya mengejar keuntungan finansial, tetapi juga kemaslahatan sosial—menyediakan lapangan kerja, melindungi hak pekerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat secara fisik maupun spiritual.
Menata Ulang Relasi Kerja secara Islami
Hari Buruh 2025 adalah momen penting untuk menata ulang cara kita memperlakukan pekerja. Islam telah meletakkan fondasi moral dan spiritual yang kuat untuk menciptakan dunia kerja yang manusiawi, adil, dan berkah. Kini tinggal bagaimana prinsip-prinsip itu diaktualisasikan dalam kebijakan publik, sistem perusahaan, dan budaya kerja umat Islam.
Pemerintah perlu menjadi hakim yang adil, bukan sekadar regulator angka upah. Pengusaha harus menyadari bahwa keberkahan usaha tak hanya datang dari laba, tetapi juga dari doa para pekerja yang merasa diperlakukan adil. Dan para pekerja sendiri perlu menyadari nilai luhur dari pekerjaan mereka, sebagai bagian dari ibadah dan kontribusi bagi umat.
Penutup
Mari jadikan Hari Buruh bukan sekadar rutinitas tahunan, tetapi tonggak kebangkitan etika kerja Islami. Pekerja bukan budak kapital, dan pengusaha bukan majikan feodal. Keduanya adalah hamba Allah yang diikat oleh akhlak, saling membutuhkan, dan sama-sama mencari rida-Nya.
Ketika prinsip Islam ditegakkan dalam dunia kerja—kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan saling menolong—maka bukan hanya ekonomi yang tumbuh, tetapi juga keberkahan hidup yang tercurah. Inilah esensi dari ekonomi syariah: menumbuhkan harta tanpa mengorbankan harkat manusia.